Tuesday, December 27, 2011

JoSH's birth story in Busan (3)

Normal or C-Section?

Cerita ini lanjutan dari:
JoSH' birth story in Busan (1) dan JoSH' birth story in Busan (2).
Yang belum pernah baca sebelumnya, bisa baca dulu supaya nyambung ceritanya.

Taksi yang mau kami tumpangi ke rumah sakit pergi, lengkap dengan tas dan semua dokumen yang San taruh di jok belakang mobil.

San pergi berlari mencari taksi itu. Aku tahu dia panik sekali melihat aku mau melahirkan, ditambah lagi taksi itu pergi dengan membawa tas kami.

Aku berjalan pelan-pelan menuju pertigaan jalan. Otakku berpikir keras bagaimana caranya seandainya tas itu tidak kami temukan. Kalau kasus begini terjadi di waktu yang lain, bukan di saat urgent begini, mungkin akan lain jadinya. Otak terasa macet, susah berfikir. Kalau baju dan perlengkapan2 kami mungkin bisa beli lagi dengan segera di toko-toko, tapi semua macam kartu dan dokumen juga ada di dalam tas. Dokumen-dokumen itu kalau mau buat lagi, tidak bisa sehari jadi dan harus berurutan (paspor dulu - ngurusnya di Seoul, lalu buat ID Card, lalu surat pernikahan, kartu ATM, dll...).

Aku sampai di pertigaan jalan, dan melihat taksi itu ada sekitar 30 meter dari tempatku berdiri. San sepertinya sedang mengeluarkan tas kami dari jok belakang. Rasanya lega sekali, Tuhan menjawab doa. Dia tahu bahwa kami perlu segera ke rumah sakit dan perlu tas itu. Pengemudi taksi itu bisa saja lari meninggalkan kami pergi jauh. Dia bisa saja membawa tas kami pergi. Kami percaya Tuhan menjaga kami.

San berlari lagi menuju ke arahku. Dia bilang bahwa taksi itu tidak mau mengantar karena tahu bahwa calon penumpangnya mau melahirkan. Rupanya ketika memangil taksi, San mengatakan kepada sopir itu dengan nada panik bahwa istrinya mau melahirkan. Ternyata si sopir itu tidak bersedia, entah karena alasan apa.

Kami berdua berjalan pelan lewat jalan yang naik turun (seperti lagu ya: Ku tak cemas kan jalan yang naik turun, lewat lembah dan gunung yang terjal, sbab ku tahu Tuhan berjalan sampingku, membimbingku ke negeri yang kekal), menuju jalan raya. Sambil berjalan, aku memberi tahu San supaya tidak panik waktu bicara ke sopir taksi, dan tidak usah memberitahu bahwa aku akan melahirkan, cukup bilang bahwa kami ingin ke rumah sakit, tolong segera.

Akhirnya kami mendapat taksi. Sepanjang perjalanan, kututup rapat mulutku menahan sakit, takut membuat sopir taksi jadi gugup dan menolak mengantar kami, seperti taksi yang pertama tadi. Akhirnya, San jadi sasaran, tangan dan pahanya kupegang erat-erat. Kontraksi itu tidak ada jedanya, terus-menerus tidak berhenti. Aku terus bertanya, sampai dimana ini, sudah dekat apa belum...

Kami melihat gedung rumah sakit itu dari dalam taksi. Puji Tuhan, akhirnya sampai juga. San berniat memberikan tip kepada sopir taksi, tidak banyak, cuma 2000won, sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolong kami sampai ke rumah sakit. Ternyata, reaksi sopirnya di luar dugaan kami, bukannya berterima kasih, tapi dia balik bertanya dengan heran "Apakah anda orang kaya?". Di Korea tidak ada budaya memberikan tips kepada sopir taksi. Walaupun kembaliannya receh, beberapa koin saja, tetap dikembalikan dengan tepat, tanpa pembulatan-pembulatan karena alasan tidak ada kembalian.

San menuntunku ke gedung ruang gawat darurat. Perawat di dalam segera keluar membawa kursi roda.
Hari itu hari Sabtu. Dokterku pernah berkata bahwa Dokter hanya ada di hari biasa (Senin-Jumat), hari Sabtu dan Minggu hanya ada dokter jaga. Tidak ada pilihan lagi, yang penting sudah sampai di rumah sakit.

Perawat bertanya usia kehamilan dan kontraksi yang kualami. Persis 40 minggu dan kontraksi tidak ada jeda. Seperti heran, dia bertanya lagi, setiap berapa menit kontraksinya? Tidak ada jeda, jawabku. Terus-menerus.

Dua perawat yang lain datang dan bertanya lagi. Jawabanku tetap sama. Setelah dicek, sudah bukaan 2. Sakitnya yang tidak tertahankan membuat aku menanyakan apakah mungkin jika dioperasi Caesar.

Grace dari Kosin Missionary Center datang melihat kondisiku. Dia bilang, ini biasa, semua orang yang mau melahirkan juga pasti merasa sakit, meskipun ada yang cepat proses melahirkannya, ada juga yang lama. Mungkin besok pagi baru lahir.

Sementara menunggu sambil menahan sakit, grafik di mesin yang terhubung dengan tubuhku menunjukkan grafik gunung-gunung naik turun tiada henti-hentinya.

(bersambung)

2 comments:

  1. Ternyata sopir taksi di indo masih lebih baik ya, tetep bersedia mengantar si ibu yg mau melahirkan, meski dg resiko kalau melahirkan di tengah jalan akan mengotori jok mobilnya.

    ReplyDelete
  2. Sopir taksi yang baik juga banyak sekali di sini. Ada yang rela pastikan bahwa kita benar2 sampai di tujuan yang benar. Bisa jadi juga karena bahasa korea yang kurang baik, jadi kurang bisa jelaskan ke si sopir kondisi sebenarnya. Thanks for reading ang giving comment ya, R.A.B ^^

    ReplyDelete